Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa
bergerilya. Anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak
cerita “kesaktian” ayahnya. Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya
bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak
sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia
lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Ceritanya
ketika Soedirman sampai di Gunungkidul. Ia tak mengizinkan pasukannya
beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan
Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang
dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka jalan
lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi pasukan Bapak
kalah,” kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang
gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di
Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan karena tak
menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada
mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk
menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah
di situ.
Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan
doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah
minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat.
Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. “Baru setelah itu Bapak
mengenalkan diri,” kata Teguh.
Keris Penolak Mortir
Desing
pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap pada suatu hari di awal
Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Timur, yang tengah
berada di sawah, halaman, dan jalanan itu panik masuk ke rumah atau
bersembunyi ke balik pepohonan.
Warga Nganjuk tahu itu pesawat
Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba
memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu
gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.
Di
rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah,
yang ia layani makan dan minum. Meskipun tak paham siapa orang-orang
ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu
pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan
pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa
yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki
pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil “Kiaine” atau Pak Kiai
itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya.
Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris
itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian
dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan
miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan
keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu.
Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu
telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara
Belanda.
Dari curi dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu,
Jirah samar-samar tahu bahwa orang yang memakai beskap bertubuh tinggi,
kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut
adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman
justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu
Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang
secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun
setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan yang berjumlah 77 orang itu,
datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya,
Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo,
Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah
tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda
menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,”
kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang
mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid
tersebut selalu gagal.
Keris Cudrik
Jenderal
Soedirman juga memiliki keris kecil yang bernama keris cudrik. Anak
bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya
terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa
menyelamatkan pasukannya. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak
punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman
tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di
Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam
bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun
turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan
Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk.
Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V
Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta,
ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada
ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman
yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. “Cundrik itu kami titipkan di
Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya,” ujar Teguh. “Tapi sekarang
hilang.”
Gunakan Kekuatan Mistik Dalam Berdiplomasi
Kepercayaan
dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya saat gerilya, tapi
juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah
menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari
menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem
dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi
Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. “Sebagai
ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat,” kata Presiden. “Temuilah
segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya menolak, Roem, yang tak
mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman
sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia
kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang
dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan “memperkuat jiwa”
Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas.
“Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara,” kata Soedirman. “Kalau
hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.”
Jimat
itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau
hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi
penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah
kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya
dengan legalistik juga. You are wonderful,” katanya, seperti ditulis
Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum)
di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Tapi
cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh
Sudirman adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak,
Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut
bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut
santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk
merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”