Rabu, 18 Maret 2015

Fungsi Alun-Alun Jaman Dulu

Alun-alun Jaman Dulu
Dalam banyak penelitian para ilmuwan diketahui bahwa alun-alun dikenal sejak jaman Majapahit hingga Mataram pra kolonial, hingga mendapat pengaruh Kolonialisme (masa penjajahan) selama 3,5 abad lamanya, hingga di era modern pasca reformasi saat ini. Dengan demikian dapat diyakini bahwa keberadaan Alun-alun saat ini sudah mengalami pergeseran-pergeseran makna sesuai tuntutan perkembangan jaman.
Handinoto (1992) dalam tulisannya “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” menyatakan bahwa kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran alun-alun dalam suatu kota di Jawa.
Lisa Dwi Wulandari dalam penelitian disertasi doktor (ITS, 2007) berjudul “Konsep Metafora Ruang pada Ruang Terbuka, Studi Kasus:Alun-alun Kota Malang”,  menggunakan pendekatan arsitektur dengan mempelajari fenomena alun-alun dari masa prakolonialiasai, masa kolonialisasi, dan masa reformasi. Penelitian Lisa ini sangat menarik karena menurutnya penelitian metafora pada ruang terbuka belum pernah dilakukan. Yang ada menurutnya adalah penelitian pada ruang tertutup (solid building), elemen ruang terbuka sebatas sclupture-nya saja, metafora pada ruang luar (defined space) yang berbatasan langsung dengan solid building, atau metafora ruang luar yang cenderung terkait dengan konsep rehabilitasi lingkungan akibat pengerukan. Sedang untuk membahas konsep metafor ruang terbuka seperti alun-alun merupakan hal yang spesifik.
Konsep Konservasi Alun-Alun Sebagai Kawasan Warisan Kota Jawa
Periode kolonial Belanda di Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad muncul kota-kota dengan arsitektur barat / kolonial berbentuk. Di wilayah kota di kota-kota Jawa pada abad ke-19 menunjukkan pengaruh campuran lokal dan barat. Kombinasi adalah apa yang memberikan karakteristik kota-kota di abad ke-19, terutama di Jawa dan tempat lain di Hindia Belanda. Kota Malang merupakan salah satu kota bersejarah di Jawa yang memiliki rencana yang sangat bagus pada waktu itu. Unsur yang dominan di kota-kota Jawa sampai sekarang adalah alun-alun (luas persegi / plaza) di pusat kota. Sejak awal abad ke-20, mulai tampak kecenderungan hilangnya khas dari alun-alun di kota-kota Jawa.
Dalam periode pasca kemerdekaan Indonesia, banyak kebijakan pembangunan perkotaan cenderung tidak mengerti akan berfungsi untuk apa ini alun-alun. Belajar dari riset Lisa Dwi Wulandari di kota Malang, bentuk awal dari alun-alun kota adalah untuk ruang publik, ruang terbuka, dan lokasi dari upacara keagamaan. Sejak tahun 1982 renovasi besar dilakukan oleh Pemerintah Kota, Malang Town Square telah diubah menjadi taman kota. Kondisi saat ini terlihat di alun-alun kota adalah adanya suatu pretensi untuk meninggalkan pola tradisional, namun belum menemukan struktur baru stabil.
Alun-alun sebagai identitas Kota di Jawa Jaman Dahulu
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :
“ Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’.

Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba).
Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat
alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin.

Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun”. Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran alun-alun dalam suatu kota di Jawa.
Pengaruh Elemen Islam
Tata kota Mataram Islam menurut Markus Zahnd diketahui  masih  mengikuti  tata  kota  Majapahit,  dimana  Masjid  Agung  menjadi  elemen  perkotaan yang  tetap  berada  di  tengah  setiap  kota.  Masjid selalu  diletakkan  di  sisi  barat  alun-alun,  dan biasanya  mengikuti  arah  ortogonal  lingkungan. Pieter Germeraad menyimpulkan  bahwa  ruang  kota  di  Jawa  sendiri dipengaruhi pula oleh susunan, fungsi serta nilai-nilai Islam  dari  Timur  Tengah.  Meski  demikian,  bentuk dan  struktur  kota  yang  mengutamakan  batas  tegas antara fungsi publik dan privat tidak digunakan, baik pada  bahan,  konstruksi,  maupun  pada  bentuk bangunan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara  iklim  tropis  Asia  Tenggara  dengan  iklim  arid (panas  dan  kering)  Timur  Tengah. (Subhan Ramdlani, 2010, h.10).

Secara  tipologi,  alun-alun  tradisional  Jawa selalu terkait dengan keberadaan bangunan-bangunan  publik  di  sekitarnya  dalam  konsep  Catur Tunggal. Adanya masjid, pendopo kabupaten, kantor karesidenan,     bahkan     penjara     kota     menjadi keniscayaan  yang  dapat  ditemui  di  beberapa  alun-alun  tradisional  di  kota-kota  kabupaten  di  Jawa. Meskipun  Alun-Alun  Kota  Malang  tidak  menerapkan secara  murni  konsep  alun-alun  tradisional  Jawa, tetap  tidak  dapat  diabaikan  adanya  keterkaitan spasial  dan  fungsional  antara  alun-alun  dan  masjid agung tersebut. Konsep alun-alun saat itu dihadirkan sebagai  upaya  untuk  memadukan  dua  kepentingan ritual  yang  berpusat  di  keraton  dan  di  masjid.  Dengan  demikian,  ruang  kota  pada  alun-alun  lebih merupakan ruang urban sebagai pusat kegiatan ritual masyarakat.  (Subhan Ramdlani, 2010, h.10).
Identitas dan Entitas Alun-alun Pasca Kolonial
Alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain
lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya.

Dalam penelitian Ramdlani menyebutkan bahwa seiring  dengan perkembangan     kota, meningkatnya  tuntutan  kebutuhan  dan  keinginan masyarakat  dalam  memanfaatkan  ruang  kota,  Alun-Alun  Kota  Malang  berkembang  menjadi  ruang  kota yang mendekati konsep public plaza dan commercial plaza.    Alun-alun  memang  masih  menjadi  ruang publik,  namun  lebih  ke  arah  sektor  ritel  dan  sektor  perdagangan  informal.  Urbanisasi,  krisis  moneter, kurang  tersedianya  kesempatan  kerja  di  kota,  dan revolusi  ritel  yang  melanda  kota-kota  indonesia semakin  mengaburkan  makna  alun-alun.  Kondisi serupa  diyakini  akan  terjadi  pula  pada  kedudukan sentral  masjid  agung,  terutama  pada  peran sentralnya  sebagai     pembentuk  ruang kota sebagaimana ketika  alun-alun  pertama kali dibangun.
Handinoto menyebutkan bahwa etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak.
Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan’. Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan.
Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsesnsus yang berlaku sekarang.
Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja (Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar