Rabu, 22 April 2015

Sutradara Konferensi Asia-Afrika: Ali Sastroamidjojo

Ali Sastroamidjojo
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika atau yang sering digaungkan dengan singkatan KAA pernah dilangsungkan di Gedung Merdeka, Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini merupakan sebuah pertemuan antara negara-negara Asia dan Afrika yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. KAA sendiri diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India dan Pakistan yang dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario dengan tujuan untuk melawan kolonialisme dan neokolonialisme Amerika Serikat,
Jika mengingat peristiwa KAA, kita tidak akan lupa akan peran seorang Perdana Menteri sekaligus ketua umum KAA pada saat itu yang dijabat oleh Ali Sastroamidjojo, S.H. Pria kelahiran Grabag Magelang, 21 Mei 1903 ini merupakan seorang tokoh politik pemerintahan dan Bapak Bangsa Indonesia yang terkenal akan kiprahnya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada masa awal pemerintahan Indonesia yang baru ia ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia juga merupakan Duta Besar pertama Indonesia untuk Amerika yang mengawali membuka perwakilan di negeri Paman SAM.
Ali mendapatkan gelar Messter in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda tahun 1927. Ia juga merupakan Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat menjabat selama 2 periode. Selain itu, Ali sempat menjabat sebagai wakil Menteri Penerangan, Menteri Pengajaran, dan Wakil Ketua MPRS.
Ali Sastroamidjojo juga tercatat pernah menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda tahun 1948, dan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah diakuinya kedaulatan atas Republik Indonesia, Ali diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tahun 1950-1955. Ia juga diangkat menjadi ketua umum Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 dan wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1957-1960 dan menjadi ketua umum PNI tahun 1960-1966.

Salah satu puncak karir dari Ali Sastroamidjojo yang paling diingat oleh banyak orang adalah jabatannya sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok pejuang diplomasi dengan jiwa internasional yang konsisten khususnya terhadap semangat “Bandung Ibu Kota Asia Afrika”.
Peranan Ali Sastroamidjojo dalam percaturan diplomasi Indonesia sangat tampak dalam drama KAA dimana Ali berhasil menjadi sutradara besar konferensi. Ia berhasil meyakinkan 4 perdana menteri lainnya pada konferensi Kolombo untuk menyelenggarakan KAA 1955, karena tanpa Colombo Plan, tidak akan terjadi KAA.
Konfrensi Asia Afrika yang pertama (KAA I) diadakan di kota Bandung pada tanggal 19 april 1955 dan dihadiri oleh 29 negara kawasan Asia dan Afrika. Keterangan Pemerintah Indonesia tentang politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr.Ali Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan;
“Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antar negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyenangi kerjasama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (commonground)untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat”.
Bunyi pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut di terima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang.Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia :
“Where do we stand now, we the peoples of Asia , in this world of ours to day?” (“Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?”), kemudian pernyataan tersebut dijawab sendiri dengan menyatakan:
(“Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia . Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”).

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika. Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki kemungkinan mengadakan konferensi semacam itu.
KAA menghasilkan Sepuluh (10) inti sari / isi yang terkandung dalam Bandung Declaration / Dasasila Bandung, yang berisi :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia seperti yang tercantum pada Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa.
3. Menghormati dan menghargai perbedaan ras serta mengakui persamaan semua ras dan bangsa di dunia.
4. Tidak ikut campur dan intervensi persoalan negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri baik sendiri maupun kolektif sesuai dengan piagam pbb.
6. Tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif dalam bertindak untuk kepentingan suatu negara besar.
7. Tidak mengancam dan melakukan tindak kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan internasional secara jalan damai dengan persetujuan PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan juga kewajiban internasional.

Dengan adanya Dasa Sila Bandung mampu menghasilkan resolusi dalam persidangan PBB ke 15 tahun 1960 yaitu resolusi Deklarasi Pembenaran Kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa yang terjajah yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Dekolonisasi.
Kebesaran Ali semakin tampak pada hari kelima penyelenggaraan KAA yang terselenggara di Bandung, kecanggihan diplomasinya mampu menyatukan berbagai latar belakang ideologi untuk bersatu dalam forum internasional kulit berwarna pertama di dunia saat itu. Selain menjadi tokoh politik, ia juga rajin mempublikasikan buah pikirannya dalam berbagai buku karangannya sendiri, seperti buku Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975).
(sumber: pusakaindonesia.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar